27 September 2009

FILM

Potret Pembunuh Sebagai Manusia

Pembunuh bayaran memang terkesan sebutan yang sangar untuk sebuah profesi. Tapi bukankah pekerjaan tetap pekerjaan dan harus dijalani? Dibalik pekerjaan itu tetaplah seorang manusia biasa yang tetap punya hati dan perasaan. Travis Bickle memang pernah dapat nasihat dari temannya, “You get a job, you become the job.” Tapi apakah orang harus selalu ‘menjadi’ pekerjaannya setiap saat? Saya ambil contoh dari tiga film.


Film The Matador adalah film yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Pierce Brosnan berperan sebagai Julian Noble, seorang hitman yang tampak lelah, bosan akan pekerjaannya, takut bosnya akan membunuh dia, dan sudah hilang konsentrasinya untuk menjadi pembunuh. Ia selalu terbayang-bayang masa kecilnya saat akan mengeksekusi korbannya. Noble juga selalu terlihat linglung. Dia menemukan sosok teman dalam diri Danny Wright seorang pekerja mapan, bisnismen dengan keluarga bahagia, namun sebenarnya menyimpan masalah. Mereka bertemu saat sama-sama menjalankan tugasnya, lalu menemukan satu sama lain dan merasa cocok.


Julian Noble yang hampir seumur hidup pekerjaannya jadi bandit pun, saat menjelang tuanya merasa kesepian dan bosan terhadap pekerjaannya. Kesan itu bisa tertangkap dari mimik Noble yang diperankan Pierce Brosnan dengan menarik (karena sebelumnya Brosnan adalah salah satu pemeran James Bond yang tanggguh, perkasa, dan playboy). Julian Noble adalah kebalikan total dari karakter James Bond. Dia butuh seorang teman dan kekasih yang bisa diajaknya berbagi perasaan. Noble tak bisa selamanya terus2an menjalani pekerjaannya. Tidak seperti James Bond yang tampaknya tak pernah lelah itu. Ia ingin bebas di saat tuanya sama seperti orang lain yang pensiun dari pekerjaannya ketika mencapai usia senja.


Seorang pembunuh ternyata juga harus berpegang pada prinsip. Masalah prinsip ini menjadi akar masalah dalam film In Bruges. Tiga karakter utamanya adalah Ray, Ken, dan Harry. Ray adalah pembunuh pemula yang melakukan kesalahan fatal dalam tugas pertamanya: membunuh seorang anak kecil. Ken adalah pembunuh senior yang sudah berkali-kali membunuh. Ray dan Ken dikirim bos mereka, Harry ke kota Bruges tanpa tujuan yang jelas. Sampai suatu malam saat Ray sedang keluar dari hotel, Harry menelpon Ken, menugaskan Ken untuk mengeksekusi Ray karena kesalahan Ray membunuh anak kecil. Ray juga sebenarnya juga merasa bersalah atas perbuatannya dan berniat bunuh diri. Namun, dalam sebuah adegan yang absurd sekaligus kocak, niat bunuh diri Ray dihentikan Ken saat akan mengeksekusi Ray.


Dalam film yang berjenis black comedy ini (atau mungkin tragicomedy), Harry adalah karakter yang memegang teguh prinsipnya tanpa ada kompromi, bahkan ketika yang melakukan kesalahan adalah dirinya sendiri. Sedangkan Ken berkompromi dengan Ray dengan memberi Ray kesempatan karena ia merasa Ray masih bisa menjadi orang yang lebih baik dan mendapat penghidupan yang layak dengan membiarkannya kabur dari Bruges. Dan untuk komprominya pada Ray itu, Ken berani menanggung hukuman yang seharusnya dijatuhkan pada Ray. Dalam sebuah ending yang tragis itu terlihat betapa kuat Harry memegang prinsipnya. Bahkan seorang pembunuh bayaran pun tetap menjaga teguh prinsipnya dan ketika ada seorang anak buahnya melanggar prinsip itu, si bos pun harus turun tangan untuk menyelesaikan anak buahnya yang membandel itu.


Quentin Tarantino juga memiliki pandangan sendiri tentang pembunuh bayaran yang bisa dilihat dalam karya masterpiecenya, Pulp Fiction. Film yang alurnya bolak balik ini menceritakan tentang Jules Weinfeld dan Vincent Vega, dua orang gangster yang terjebak dalam macam-macam masalah. Padahal mereka hanya ditugaskan untuk mengambil koper berisi kokain. Jules dan Vincent lolos dari peluru yang ditembakkan oleh orang yang berada tepat di depan mereka. Lalu mereka panik saat Vincent tidak sengaja menembak mati kepala teman Jules di dalam mobil. Terakhir, mereka disuruh menyerahkan koper berisi kokain itu saat mereka ditodong oleh perampok di dalam restoran. Dari kejadian-kejadian penting yang terjadi hari itu, Jules seakan mendapat hidayah dari Tuhan karena ia percaya saat ia lolos dari tembakan ada semacam campur tangan Tuhan dalam kejadian tersebut. Kutipan ayat Injil, Ezeqiel 25:17 yang selalu dibacanya sebelum mengeksekusi korbannya, yang sebelumnya hanya untuk keren2an, menjadi berarti bagi Jules pada hari yang penuh kejadian aneh itu. Sedangkan Vincent yang berpikiran rasional menolak semua anggapan Jules bahwa hal itu terjadi oleh apa yang disebut Jules sebagai ’miracle’ dan ’divine intervention’. Kematian Vincent Vega pada adegan yang lebih dulu seakan mendapatkan penjelasan, karena kematian itu sebagai hukuman bagi Vincent.


Satu lagi kemanusiaan pembunuh adalah saaat Vincent harus menemani Mia, istri bosnya, makan malam di sebuah restoran. Vincent terlihat begitu canggung di depan Mia. Sebelumnya ia bertanya-tanya terus pada Jules seperti apa sosok Mia ini. Vincent terlihat seperti seorang yang tidak percaya diri untuk kencan bersama istri atasannya. Dia juga takut pada bosnya jika ia berbuat macam-macam pada Mia.karena bosnya pernah melempar keluar jendela gedung seorang negro yang berani-beraninya memijat kaki Mia (Jules dan Vincent berdebat soal apakah pijat kaki adalah perbuatan yang lancang atau tidak terhadap perempuan).


Itulah sebagian contoh profil pembunuh bayaran yang bisa dilihat di beberapa film. Intinya, pembunuh bayaran sama saja dengan profesi lain. Tidak ada yang aneh pada orang-orang dibalik profesi itu. Hanya saja, karena berurusan dengan nyawa orang dan selalu dicap sebagai penjahat, orang selalu salah menilai karakter seorang pembunuh bayaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar