26 September 2009

CORAK

NOL

Suatu ketika Leonardo Da Pisa (Fibonacci) mempertaruhkan segalanya untuk mengenalkan dan membawa sebuah angka, yaitu angka nol. Sepulang belajar, atau bisa dibilang bertugas lebih tepatnya (beberapa kalangan menyebutnya mencuri), sebagai konsultan perdagangan di Aljazair, dari dunia Islam di Afrika Utara, ia merevolusi filsafat Barat yang waktu itu berkembang, yang menolak kekosongan, kehampaan, sehingga menghancurkan sistem pemikiran Yunani serta penomoran Romawi. Orang Yunani bahkan sempat berkata, ”Bagaimana mungkin yang tidak berarti memiliki arti?”

Bersamaan dengan itu, tanggal 20 September ini kita merayakan 1 Syawal, Idul Fitri, di mana semua kembali ke nol, kembali ke asal. Nol kah asal kita? Bersih? Suci? Sederhana? Bukan keburukan dan kehampaan yang kita usung. Sebagaimana neutron yang netral, nol tidak memiliki kandungan apapun. Rasa dendam, kemarahan, dendam serta ketamakan. Namun apa yang terjadi? Kita merayakan nol agar menjadi bilangan lainnya, ya, bilangan lainnya, tapi berskala negatif, berbelanja besar-besaran, menumpuk makanan sebanyak-banyaknya, meriuhgaduhkan malam sejadi-jadinya? Apakah kita nol lagi kini? Saat meminta maaf, beribadah sebulan penuh tidak memiliki arti lagi ? Apakah kita kembali ke awal?

Bagi kebudayaan India, nol ialah lengkungan, bulatan, bentuk alam semesta ini, dan dalam ajaran Buddha sendiri, dapat dipahami bahwa Nirvana disediakan bagi mereka yang telah mencapai “titik hampa” dalam hasrat kehidupan duniawinya, seperti yang kita lihat dalam relief candi borobudur di tingkatan teratas. Di Arab, nafas nol berjalan bersamaan dengan teologi sufisme dan matematika, nol bagi kebudayaan Arab yang dilambangkan titik, berarti awal dan akhir. Dua buah titik membentuk garis, beberapa garis yang saling berhubungan membentuk bidang, dan beberapa bidang bertemu menjadi ruang. Pada akhirnya, ruang yang bergerak menjauhi pusat akan kembali terlihat sebagai sebuah titik. Bagi kebudayaan Cina, nol dilambangkan dengan karakter (ling), yang didapat dari bunyi rintik hujan yang melambangkan awal dan akhir, awal dari musim hujan, dan akhir dari kekeringan.

Karena itu nol ialah penyeimbang antara dua hal yang saling berlawanan. Nol lah yang hukumnya mengatur jalannya semesta ini. Karena itu nol ialah absolut. Seorang teman pernah bercerita bahwa dalam bahasa Pali (Bahasa Nepal), ”Esa” bukan berarti satu, namun hampa, nol. Jadi Ketuhanan yang Maha Esa ialah perlambang kehampaan sebagai suatu absolutisme ketuhanan itu sendiri. Dan kita semua yakin, bahwa salah satu berkah ketuhanan itu turun di tanggal 20 November ini. TERSERAH kita, dari nol menjadi bilangan positif, atau negatif? Karena tidak ada yang sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar